Thursday, February 28, 2013

Balian = Dokter Tradisional Orang Bali

Walaupun berkembang pesatnya ilmu kedokteran modern saat ini, ilmu kedokteran tradisional/alternatif/timur masih dipercaya masyarakat dalam menyembuhkan suatu penyakit. Ilmu kedoteran tradisional atau alternatif ini jauh lebih dulu lahir daripada ilmu kedoteran modern. Pemisahan batasan ilmu kedoteran ini semata-mata untuk membatasi antara yang bersifat ilmiah dan non-ilmiah. Dalam ilmu kedoteran modern lebih mengutamakan unsur ilmiah/biologis, sedangkan ilmu kedoteran tradisional lebih menekankan asfek spiritualnya.

Dengan perkembangan jaman yang dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan, banyak orang sekarang berpaling ke pengobatan tradisional. Ini disebabkan oleh berbagai faktor dan di antaranya adalah faktor ekonomi yang sangat mempengaruhi paradigma ini. Biaya pengobatan yang mahal pada pengobatan modern/medis menjadi alasan utama terjadinya migrasi ini, namun pengobatan medis masih tetap menjadi pilihan pertama. Dan jika dalam pengobatan medis diperlukan biaya yang besar, maka orang akan mulai berpaling ke metode pengobatan tradisional yang saat ini dikenal dengan pengobatan alternatif (alternative medicine).

Kalau kita melihat manusia secara keseluruhan, manusia bukan hanya mahkluk biologis semata, melainkan juga mahkluk sosial, psikologis dan mahkluk spiritual. Batasan sehat bukan semata sehat secara biologis atau kasat mata, tetapi juga sehat secara keseluruhan/holistik. Oleh karena itu, peranan ilmu kedokteran tradisional/alternatif tidak dapat kita tinggalkan begitu saja disamping merupakan warisan budaya dari nenek moyang kita sejak jaman dahulu.

Pengobatan tradisional/alternatif sangat beragam jenisnya di berbagai belahan dunia sesuai dengan kebudayaan dan kepercayaan setempat. Dalam kepercayaan Hindu kita mengenal ilmu kedoteran Ayur weda dan sedangkan di Bali kita mengenal ilmu kedokteran Usadha Bali, dimana Balian sebagai dokternya.

Ajaran Hindu çiwa Siddanta menyatakan bahwa Ida Sang Hyang Widhi  atau Batara çiwa yang menciptakan semua yang ada di jagat raya ini, beliau pula yang mengadakan penyakit ( gering, wyadhi ), obat ( tamba, ubad ), dan pengobat (balian) hidup dan mati juga kehendak beliau. Utpatti (lahir), Sthiti (hidup), Pralina (mati). Laku balian yang diwacanakan dalam lontar Bodha Kecapi adalah madewasraya usaha mistik-magis seorang penganut çiwa Tantrik untuk memohon pertolongan dewa agar dapat menjadi balian sejati. Untuk menjadi seorang balian harus berani melaksanakan mati raga di setra pangesengan (tempat pembakaran mayat). Bila orang berhasil mati raga maka ia mendapat anugrah Tuhan. AnugrahNya dapat berupa kesiddian (kekuatan adikodrat).

Kata USADHA tidaklah asing bagi masyarakat di Bali, karena kata usada sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam kaitan dengan mengobati orang sakit. usadha berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu ausadha yang berarti tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan. Kata usada berasal dari kata ausadhi (bhs. Jawa kuno) yang berarti tumbuhtumbuhan yang mengandung khasiat obat-obatan (Nala, 1992:1).

Tetapi batasan usadha di Bali lebih luas, usadha adalah semua tata cara untuk menyembuhkan penyakit, cara pengobatan, pencegahan, memperkirakan jenis penyakit/diagnosa, perjalanan penyakit dan pemulihannya. Kalau dilihat secara analogi, hampir sama dengan pengobatan modern.

Usada adalah pengetahuan pengobatan tradisional Bali, sebagai sumber konsep untuk memecahkan masalah di bidang kesehatan. Dengan menguasai konsep usada tersebut dan memanfaatkannya dalam kerangka konseptual di bidang pencegahan, pengobatan, rehabilitasi serta penelitian berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.

Menurut Sukantra (1992:124) menyatakan usada adalah ilmu pengobatan tradisional. Masyarakat di Bali masih percaya bahwa pengobatan dengan usada banyak maanfaatnya untuk menyembuhkan orang sakit. Pengobatan tradisional Bali (usada) yang dikenalkan oleh para leluhur merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu Bali/ Siwasidhanta. Sukantra (1992) menyatakan, usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali, yang sumber ajarannya terdapat pada lontar.

Lontar tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu lontar tutur dan lontar usadha. Di dalam lontar tutur (tatwa) berisi tentang ajaran aksara gaib atau wijaksara. Ajaran anatomi, phisiologi, falsafah sehat-sakit, padewasaan mengobati orang sakit, sesana balian, tatenger sakit. Sedangkan di dalam Lontar Usada berisi tentang cara memeriksa pasien, memperkirakan penyakit (diagnosa), meramu obat (farmasi), mengobati (terapi), memperkirakan jalannya penyakit (prognosis), upacara yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan pengobatannya.

Balian, Dokternya Usadha Bali
Dalam dunia kedokteran modern, kita mengenal dokter sebagai pelaksana praktisi ini sedangkan dalam usadha Bali, dokternya dikenal dengan istilah Balian, tapakan atau jero dasaran. Balian, waidhya, pengobat ( battra = pengobat tradisional ), dukun, atau tabib.

BALIAN adalah pengobat tradisional Bali yakni, orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Jadi balian merupakan orang yang mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Balian adalah pengobat tradisional Bali yakni, orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit.

Dharma sesana Balian dapat disamakan dengan etika balian, sesana berarti tingkah laku, kewajiban. Sedangkan etika, yang berasal dari kata ethos (yunani)  berati ilmu pengetahuan tentang asas moral. Dharma sesana didalam bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan tata susila, yakni dasar kebaikan yang menjadi pedoman dalam kehidupan manusia, kewajiban yang harus dipenuhi selaku anggota masyarakat.

Manusia harus melakukan dharma sesana jika ingin kehidupannya mencapai kebahagiaan. Dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik dengan buana alit maupun dengan buana agung. Didalam setiap agama pedoman dharma sesana ini pasti ada karena ajaran yang baik selalu bersifat universal. Manusia apapun pekerjaannya apalagi sebagai balian bila ingin hidup sejahtera harus berpijak pada patokan yang pasti yaitu dharma sesana. Balian yang bekerja menghadapi manusia, memerlukan dharma sesana yang baku, yang dapat diikuti dan ditaati oleh semua balian sebagai pedoman dalam melaksanakan profesinya.

Dharma sesana balian adalah sebagai berikut :
1. Semua rahasia dari orang yang sakit harus disimpan, tidal boleh disebarluaskan atau dibicarakan dengan orang lain. 
2. Hidup para balian harus suci dan bersih, terlepas dari sifat loba, sombong dan asusila. Didalam lontar tutur bhagawan çiwa sempurna ditegaskan bahwa, seorang balian tidak boleh berlaku sombong, harus bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, serta semua nafsu hendaknya ditahan didalam hati. 
3. Seorang balian tidak boleh was-was, ragu-ragu, apalagi malu-malu dalam hati harus teguh dan mantap serta penuh keyakinan pada apa yang dikerjakan. Tidak goyah terhadap segala hambatan, rintangan, gangguan, dan godaan yang datang dari dalam diri sendiri, yang mengakibatkan gagalnya usaha yang sedang ditempuh. Tidak akan mundur sebelum berhasil mendapatkan apa yang sedang dihayati, apa yang diinginkan yaitu kesembuhan dari orang yang sakit. 
4. Seorang balian tidak boleh pamrih. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali tahu akan akibat dari kelobaan akan sesantun dan materi lainnya. Para balian harus tahu akan hak dan kewajibannya, rendah hati tidak sombong, membatasi diri terhadap apa yang dapat dilakukannya, menghormati kehidupan manusia, karena didalam raga sarira atau tubuh manusia, bersemayam Sang Hyang Atma, Sang Hyang Bayu Pramana karena beliu dapat mengutuk balian yang melanggar dharma sesana.Dan bila terkutuk kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit dapat menurun dan luntur. Dan yang lebih parah lagi ia akan menerima kutuk dari Sang Hyang Budha Kecapi sehingga hidupnya akan menderita, termasuk anak cucunya. Ketahuilah adanya tata cara menjadi balian jangan disalah artikan atau disalahgunakan, memang sangat berbahaya menjadi balian. Barang siapa berkehendak menjadi balian sakti mawisesa, tidak dikalahkan oleh kesaktian mantra dapat menjalankan semua pengobatan, dapat mengobati segala penyakit dan tenung. Maka, hendaklah selalu astiti bhakti ring Ida Batara Tiga, khususnya ring Ida Batara Dalem, Desa dan Puseh. Sebagai jalan untuk memohon kesaktiannya, Ida I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yang merupakan pepatih bersama saudara-saudaranya yang lain. Ida I ratu Nyoman sakti Pengadangan adalah dewan balian sejagat, wajib dibuat pelinggih penyawangan biasa dalam bentuk kamar suci, dibuatkan daksina linggih, ditempatkan pada pelangkiran.

Balian juga beragam jenis dan klasifikasinya yang diuraikan sebagai berikut.
Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan berbagai cara yaitu :
Jenis Balian Berdasarkan Tujuannya
1. Balian Penengen (baik) adalah balian yang tujuannya mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian ini sering pula disebut Balian Ngardi Ayu (dukun kebaikan). Balian ini pada umumnya bersifat ramah, terbuka, penuh wibawa dan suka menolong. Siapapun akan ditolongnya tidak membedakan apakah dia orang baik atau orang jahat, orang yang miskin atau kaya semua dilayani sesuai dengan penyakit yang dideritanya. 
2. Balian Pengiwa (jahat) adalah balian yang tujuannya membuat orang yang sehat menjadi sakit dan orang yang sakit bertambah menjadi sakit, bahkan sampai meninggal. Itulah sebabnya balian tipe ini sering disebut balian aji wegig, dukun yang menjalankan kekuatan membencanai orang lain, berbuat jahil, usil, terhadap orang lain. Balian jenis ini amat sukar dilacak, pekerjaannya penuh rahasia, tertutup dan misterius. Sering pula balian ini mengganggu balian penengen pada waktu pengobati orang sakit sehingga tidak sembuh-sembuh, jahil dan usil. Merupakan sisi lain dari aji wegig ini mendatangkan hujan pada waktu orang sedang melakukan upacara, menahan hujan (nerang) pada waktu orang bercocok tanam, serta menguji kesaktian dengan balian lainnya adalah kegemaran dari balian pengiwa ini. Disamping itu balian ini juga mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan, terutama orang yang kena aji wegignya sendiri, atau diri orang lain.

Jenis balian dapat dilihat berdasarkan pengetahuan yang diperoleh, 
berdasarkan tata cara memproleh keahlian dan cara mengobati suatu penyakit (berdasarkan lontar Boda Kecapi, ), misalnya:
1. Balian kapican adalah balian yang mendapat keahlian karena memperoleh suatu pica atau benda bertuah dan berkhasiat yang dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang sakit.  Mungkin benda-benda tersebut didapat dari pawisik/pirasat baik berupa mimpi atau petunjuk yang lainnya. Balian kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dapat dipergunakan untuk mengobati orang yang sakit. Benda bertuah ini disebut Pica. Dengan mempergunakan pica yang didapatkan balian tersebut mampu untuk mendiagnosis,  menyembuhkan penyakit dan memperkirakan berat penyakit yang dideritanya. Pica ini dapat berupa batu permata, lempengan logam, keris, cincin, kalung, tulang dan benda lainnya. Pica ini diperoleh baik melalui mimpi, petunjuk misterius atau cara lainnya. Dengan mempergunakan pica ini, dia mampu menyembuhkan orang yang sakit sejak itu mereka disebut Balian Kapican, dukun yang mendapat pica atau kapican oleh suatu kekuatan gaib. 
2. Balian katakson (tetakson) adalah balian yang mendapat keahlian melalui taksu, roh atau kekuatan gaib yang memiliki kecerdasan, mukzijat ke dalam dirinya. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakukanya. Karena kemasukan taksu inilah orang tersebut mampu untuk mengobati orang yang sakit. Dengan ciri-ciri pada umumnya sebagai berikut: Balian ini pada umumnya keadaan terpaksa ngiring pekayunan (menuruti kehedak gaib) kalau tidak mau menuruti kehendak gaib ini maka si Balian akan jatuh sakit, dan lain sebagainya. Saat mengobati orang sakit, si Balian ini tidak menyadari apa yang telah dilakukannya. Memiliki kesidian/taksu biasanya tidak begitu lama, terutama yang tindak egonya masih tinggi, maka Balian ini harus memegang pantangannya dengan baik agar bisa bertahan lama. Balian jenis ini balian yang mendapatkan keahlian melalui taksu. 
3. Balian usada adalah seseorang dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada balian, maupun belajar sendiri melalui lontar usada dan belajar dengan benar cara mendiagnosis ataupun osmosis pasien. Adapun yang termasuk balian golongan ini adalah tidak terbatas hanya mempergunakan ramuan obat dari tumbuhan saja, tetapi termasuk balian lung (patah tulang), Kacekel / limpun (pijat), Apun (lulur), Wuut (urut), manak(melahirkan) dan sebagainya, yang keahliannya diperoleh melalui proses belajar (aguron-guron). Mereka mempelajari masalah penyakit yang disebabkan baik oleh sekala (natural) maupun niskala (supernatural). Karena untuk menjadi balian tipe ini melalui proses belajar, maka orang barat menyebut balian jenis ini dengan julukan Dokter Bali. Mengenai proses seseorang menjadi balian usada dapat dibaca dalam lontar budha kecapi, usada kalimosadha dan usada sari. Setelah tamat mempelajari Katikelaning Genta Pinata Pitu dan sastra sanga maka dianggap siswa telah bersih jiwa dan raganya. Siswa ini telah hilang kawahnya yakni keletehan serta kotoran dan keburukan yang ada didalam dirinya telah musnah. Sekarang dia telah dianggap telah siap untuk diberi pelajaran membaca lontar usada. 
4. Balian Campuran, Suatu Balian yang memakai semua cara didalam mengobati si sakit dan keahliannyapun didapat dengan berbagai cara baik dari ketakson, dari benda-benda gaib, dari usada dan sebagainya, yang intinya bisa menyembuhkan si sakit menjadi sehat. Balian Campuran pada umumnya campuran antara balian katakson maupun balian kapican yang mempelajari usada. Dengan demikian balian katakson maupun kapican kemampuannya tidak hanya mengandalkan taksu atau pica, tetapi telah bertambah dengan memberikan ramuan obat-obatan berdasarkan lontar usada. Balian tipe ini dapat disebut balian katakson usada atau balian kapican usada. Balian jenis ini juga dikenal dengan istilah balian ngiring pekayunan atau menjadi tapakan Widhi atau tapakan dewa. Pada umumnya mereka menjadi balian bukanlah atas kemauannya sendiri, tetapi ditunjuk oleh kekuatan gaib. Bila menolak akan tertimpa penyakit, kapongor, atau menjadi gila, pikiran selalu kalut, semua hasil usaha gagal. Hanya dengan mengikuti perintah gaib dia akan kembali normal. Balian seperti ini paling banyak berkembang dan tumbuh subur serta mendapat pasaran. Padahal, keampuhan pengobatannya tidaklah berlangsung lama. Tidak langgeng, hanya bersifat sementara.
Sedangkan pengelompokan balian berdasarkan sifat kekuatan 
yang dimiliki terdiri atas balian lanang (maskulin, sifat kejantanan), balian wadon (feminim) dan balian kedi (netral, bersifat kebancian). Balian ini tidak berdasarkan jenis kelamin dari balian tetapi berdasakan sifat kekuatannya. Balian perempuan bisa saja disebut sebagai balian lanang apabila memiliki sifat kekuatan yang bersifat maskulin.

Menurut lontar Bodha kecapi, usada ratuning usada, usada bang dan tutur Bhuwana Mahbah, untuk menjadi seorang balian harus melewati suatu proses pembelajaran dari gurunya (aguron-guron) dan rangkaian upacara/didiksa yang disebut aguru waktra. Calon balian harus menguasai beberapa ilmu usadha seperti genta pinarah pitu, sastra sanga, Bodha Kecapi dan kalimosada.

Genta pinaruh pitu adalah kemampuan untuk membangkitkan tujuh buah kekuatan yang berasal dari energi tujuh chakra dan kundalini. Sedangkan sastra sanga adalah sembilan sastra/pelajaran yang harus dikuasai, meliputi: darsana agama, tattwa purusha pradana, tattwa bhuwana mahbah, tattwa siwatma, tattwa triguna, dewa nawasanga, wijaksara/bijaksara, kanda pat dan rwa bhineda. Tetapi menurut beberapa lontar (bodha kecapi, cukil daki, gering agung, kalimosada), yang dimaksud sastra sanga adalah sembilan buah aksara suci yang terdiri atas tri aksara, dwiaksara, ekaaksra, windu, ardhacandra dan nada.

Semua tanda dan gejala, nama penyakit dan pengobatannya tercantum pada lontar-lontar usadha meliputi: usadha rare, usdha cukil daki, usada manak, usada kurantobolong, usada kacacar, usada pamugpugan, usada kamatus, usada tiwang, usada kuda, usada sari kurantobolong, usada buduh, usadha budhakacapi dan usada ila.

Lontar Bodha Kecapi dan kalimosada adalah dua buah lontar usadha yang paling pokok yang harus dikuasai oleh seorang balian usadha karena didalamnya termuat tentang aguru waktra, kode etik balian dan guru, tattwa pengobatan, asal mula penyakit, berbagai jenis obat, aksara suci, sang hyang tiga suwari, tata cara menegakkan diagnosis dan prognosis dan berbagai pengetahuan lainnya.

Seperti halnya seorang dokter dalam dunia medis yang harus tamat pendidikan dahulu dan disumpah sebelum mengemban tugas, seorang balian pun sama harus menguasai semua hal tersebut diatas dan sudah melakukan upacara aguru waktra. Karena jika melanggar atau menjadi balian/mengobati penyakit tanpa didasari penguasaan ilmu usadha dan guru waktra, maka akan menerima hukuman secara niskala dan hidupnya sengsara sampai keturunannya. Oleh karena itu, berhati-hatilah menjadi seorang balian jangan sekedar mengobati semata mencari uang maupun status sosial.

Konsep sehat sakit menurut Usadha
Manusia disebut sehat, apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh (panca maha bhuta) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha (vatta=unsur udara, pitta=unsur api, dan kapha=unsur air).

Tiga unsur cairan tri dosha (Unsur udara, unsur api, dan unsur air) dalam pratek pengobatan oleh balian dan menurut agama Hindu di Bali (Siwasidhanta), Ida Sang Hyang Widhi atau Bhatara Siwa (Tuhan) yang menciptakan semua yang ada di jagad raya ini. Beliau pula yang mengadakan penyakit dan obat. Dalam beberapa hasil wawancara dengan balian dan sesuai dengan yang tertera dalam lontar (Usada Ola Sari, Usada Separa, Usada Sari, Usada Cemeng Sari) disebutkan siapa yang membuat penyakit dan siapa yang dapat menyembuhkannya. Penyakit itu tunggal dengan obatnya, apabila salah cara mengobati akan menjadi penyakit dan apabila benar cara mengobati akan menjadi sembuh (sehat). Dalam usadha, penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang). Untuk melaksanakan semua aktifitas ini adalah Brahma, Wisnu, dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti atau Tri Sakti wujud Beliau adalah api, air dan udara. Penyakit panes dan obat yang berkasihat anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan obat yang berkasihat dumelada.

Selain tersebut diatas, sistem pembagian penyakit dalam usadha juga dikelompokkan berdasarkan Ayur Weda yang didasarkan atas penyebabnya, meliputi:
Adhyatmika, adalah penyakit yang penyebabnya berasal dari dirinya sendiri seperti penyakit keturunan, penyakit kongenital/dalam kandungan, dan ketidakseimbangan pada unsur tri dosha. 
Adhidaiwika, penyakit yang penyebabnya berasal dari pengaruh lingkungan luar, seperti pengaruh musim, gangguan niskala/supranatural (bebai, gering agung) dan pengaruh sekala. 
Adhibautika, yaitu penyakit yang disebabkan oleh benda tajam, gigitan binatang, kecelakaan sehingga menimbulkan luka.
Sistem pemeriksaan dan pengobatan
Dalam melakukan suatu pemeriksaan dan mendiagnosa penyakit, balian menyimpulkan berdasarkan hasil wawancara/anamnesis, hasil pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik seperti melihat aura tubuh, sinar mata, menggunakan kekuatan dasa aksara, chakra, kanda pat dan tenung. Sedangkan pada balian kapican, yang menjadi alat pemeriksaan adalah benda bertuah yang diperoleh sebagai pica.

Sistem pengobatan/penatalaksanaan suatu penyakit dalam usadha terdiri atas berbagai pendekatan, meliputi pengobatan tradisional (tamba) seperti loloh, boreh dan minyak/lengis yang didasarkan atas lontar taru pramana; penggunaan banten-bantenan yang disesuaikan dengan tenung dan lontar; dan penggunaan rerajahan aksara suci.

Selain pengobatan yang bersifat kuratif, usadha juga mengenal sistem pengobatan preventif/pencegahan yaitu mencegah kekuatan jahat akibat penyakit yang dibuat orang lain, leak/desti dan racun/cetik. Sarana yang digunakan dapat berupa mempasupati benda keramat yang dapat sebagai bekal seperti batu permata, rerajahan dan tumbal. Hal mengenai tentang rerajahan, tamba, tenung dan lain sebagainya akan dibahas lebih lanjut dalam artikel lainnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pada dasarnya ada tiga jenis penyakit yang disebut dengan istilah Tri Dosa yaitu Pitta (panas), Kapha (nyem) dan Vayu (sebaa - antara panas dan dingin) 
Demikian pula obatnya ada tiga macam, yaitu ; ada obat yang bersifat hangat, tis dan dumelade.  
Dan ternyata ketiga penyakit dan obatnya bersumber dari  Batara çiwa yang memberikan wewenang kepada Batara Brahma, Wisnu dan Iswara. 
Penyakit panas dan obatnya yang bersifat hangat menjadi tugas dan kewenangan Batara Brahma.  
Batara Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang berkasiat tis. 
Batara Iswara mengadakan penyakit sebaa dan bahan obatnya yang bersifat dumelada.
Didunia perbalianan yang selama ini terkesan menutup diri atau sengaja ditutupi agar terkesan seram dan menakutkan atau agar menyisakan keterpesonaan, keraguan dan terkadang keheranan. Sering seperti dipaksa berkenyit, lantaran rasa ingin tahu tak juga menemukan jawaban atas berbagai keanehan dan kedahsyatan yang tengah berlangsung.


Menjadi seorang balian hendaklah haruslah bermurah hati dan memberi informasi bersifat pencerahan sebagai rasa ingin tahu pasien bisa terpuaskan. 
Menjadi seorang balian harus memiliki sifat welas asih dan tanpa pamrih dan jangan membeda-bedakan dari statusnya. 
Demikianlah selayang pandang mengenai sistem pengobatan tradisional Bali yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita sampai sekarang masih merupakan suatu pendekatan pengobatan alternatif yang tidak bisa kita tinggalkan karena merupakan budaya Bali yang mesti kita lestarikan. Manusia tidak seperti mesin yang jika salah satu komponen yang rusak/sakit bisa diperbaiki/diganti begitu saja, namun manusia adalah ciptaan Hyang Widhi yang juga merupakan mahkluk spiritual. Oleh karena itu, pendekatan pengobatan secara holistik harus menjadi pertimbangan bagi semua praktisi pengobatan, baik medis maupun non medis.


Dapus:
http://cakepane.blogspot.com/2012/07/balian-usada-usadha-bali-dokter.html

Friday, February 22, 2013

Pura dan Penjelasannya



1. Pengertian.
Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa (manifestasi- NYA) dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Di samping dipergunakan istilah Pura untuk menyebut tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan juga istilah Kahyangan atau Parhyangan.
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama Hindu.
Etimologi:
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.


2. Tata Letak.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:

1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.


Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.



3. Fungsi Pura.
Pura adalah tempat suci umat Hindu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA) dan atau Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur) dengan sarana upacara yadnya sebagai perwujudan dari Tri Marga.

4. Tujuan Pengelompokan Pura.
Untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran umat terhadap Pura sebagai tempat suci umat Hindu.
Menghindari adanya salah tafsir bahwa dengan adanya banyak Palinggih di suatu Pura, Agama Hindu dianggap polytheistic.

5. Dasar Pengelompokan Pura di Bali.
Tattwa Agama Hindu yang berpokok pangkal pada Konsepsi Ketuhanan : "Ekam sat wipra bahudha vadanti", artinya Hanya satu Tuhan Yang Maha Esa orang arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Brahman Atman aikhyam artinya: Brahmandan Atman hakekatnya manunggal (Reg Weda).
Prabawa Hyang Widhi Wasa dan atau Atma Sidha Dewata yang dipuja di Pura tersebut.
Panyiwi Pura tersebut, jagat dan warga (clan).

6. Pengelompokan Pura di Bali.
A. Berdasarkan fungsinya digolongkan menjadi dua kelompok:
1. Pura Jagat yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA).
2. Pura Kawitan yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
B. Berdasarkan karakterisasi digolongkan menjadi empat kelompok:
1. Pura Kahyangan Jagat yaitu Pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA) seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat lainnya.
2. Pura Kahyangan Desa (territorial) yaitu Pura yang disungsung oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang penyiwinya terikat oleh ikatan swaginanya (Kekaryaannya) yang mempunyai profesi sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti Pura Subak, Pura Melanting dan yang sejenisnya.
4. Pura Kawitan yaitu Pura yang penyiwinya ditentukan oleh ikatan "wit" atau Leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogies), seperti Sanggah/ Merajan, Pretiwi, Ibu, Panti, Dadia, Batur, Dadia, Penataran Dadia, Dalem Dadia, Dadia, Pedharman dan yang sejenisnya.


Catatan.
1.Selain kelompok Pura yang mempunyai fungsi dan karakterisasi seperti tersebut di atas diakui terdapat pula Pura yang berfungsi di samping untuk memuja Hyang Widhi Wasa/ Prabawa- NYA juga berfungsi untuk memuja Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur).
2. Palinggih Penyawangan yang terdapat di kantor- kantor, sekolah- sekolah dan sejenis dengan itu dapat dikelompokkan ke dalam kelompok Pura Jagat/ Umum karena sebagai tempat pemujaan Prabawa tertentu dan Hyang Widhi Wasa.


Dapus:
http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-pura-fungsi.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Pura

Thursday, February 21, 2013

Sudhi Wadani, Tata Cara dan Formulir Pernyataan



I. SUDHI WADANI

A. Pengertian Sudhi Wadani
Upacara Suddhi Wadani adalah upacara dalam agama Hindu yang di cetuskan secara syah dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek agama Hindu yang di selenggarakan tanggal 18 sampai dengan 20 Februari 1981 di Denpasar Bali, dengan maksud memberi pengesahan status seseorang yang sebelumnya bukan penganut Agama Hindu.

Sudhi wadani berasal dari kata sudhi dan wadani. Sudhi dari bahasa Sansekerta (f), yang berarti penyucian, persembahan, upacara pembersihan/penyucian. Kata yang sepadan dengan sudhi adalah suddha, yang berarti bersih, suci, cerah, putih tanpa cacat atau cela.

Wadani berarti banyak perkataan, banyak pembicaraan. Adapun bentuk-bentuknya seperti :

1. Wadana yang dapat berarti muka, mulut, prilaku/cara berbicara.

2. Wadanya yang berarti fasih berbicara, ramah, banyak bicara.

Dengan memperhatikan arti kata suddhi dan wadani tadi, maka suddhi wadani dapat di artikan dengan kata-kata penyucian. Secara singkat dapat di katakan bahwa upacara sudhi wadani adalah upacara dalam Hindu sebagai pengukuhan atau pengesahan ucapan atau janji seseorang yang secara tulus ikhlas dan hati suci menyatakan menganut agama hindu.

Dalam pengukuhan ini yang menjadi saksi utama adalah Sang Hyang widhi (Tuhan), yang bersangkutan sendiridan Pimpinan Parisadha Hindu Dharma Indonesia atau yang di tunjuk untuk mewakili acara di maksud.

B. Kedudukan Upacara Sudhi Wadani Dalam Hukum Hindu.

Upacara Suddhi Wadani memiliki dasar hukum yang kuat dalam hukum Hindu yaitu berlandaskan azas Atmanastuti sebagai salah satu sumber Dharma, demikian juga dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 khususnya pada pasal 2 ayat 1, dimana upacara Suddhi Wadani memberikan status hukum bagi perkawinan antara pasangan yang sebelumnya masih berbeda keyakinan, karena Undang-undang tersebut menggantungkan syahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing penganutnya.

Di dalam Weda di nyatakan bahwa, mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, kemudian oleh Beliau di ciptakan hukumnya yang mengatur hubungan antar partikel yang di ciptakan-Nya. Sekali Beliau tentukan hukumnya untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu untuk selama-lamanya.

  Dalam ilmu social, konsepsi hukum itu kemudian berkembang dalam dua istilah yaitu; hukum alam dan hukum bangsa. Hukum alam disebut Rta, sedangkan hukum bangsa disebut Dharma yang bentuknya berbeda-beda menurut adat setempat, karena itu istilah Dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan di hubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat. Rta di pandang sebagai landasan Idiil, sedangkan Dharma adalah bentuk hukum yang ingin di terapkan dalam pengaturan masyarakat di dunia.

Dharma sebagai istilah hukum mencakup dua pengertian yaitu

1. Berarti Norma

2. Berarti keharusan yang kalau tidak di taati akan mendapatkan sanksi.

Karena itulah Dharma dalam artian Hukum, paling banyak di pergunakan yang bertujuan untuk mengatur lembaga antar manusia didalam menciptakan kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan rohani.




II. TATA CARA SUDHI WARDANI

A. Persyaratan Administrasi

Bagi seseorang yang akan melaksanakan upacara Sudhi Wadani, baik yang di lakukan oleh perorangan maupun kolektip (massal) diwajibkan terlebih dahulu memenuhi persyaratan administrasi, diantaranya :

1. Membuat surat pernyataan dengan tulus ikhlas untuk menganut agama Hindu, tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak lain.

2. Membuat surat permohonan kepada Parisadha Hindu dharma Indonesia setempat atau lembaga adat untuk pensuddhian.

3. Pas photo hitam putih ukuran 3x4cm sebanyak 2 lembar foto copy Kartu Tanda Penduduk.

4. Adanya saksi-saksi dalam pelaksanaan upacara Suddhi Wadani. Perlu diketahui dalam pelaksanaan upacara Suddhi Wadani tidak di tentukan batas umur bagi calon yang akan disudhikan karena upacara ini bersifat sebagai penyucian lahir bathin seseorang dan sebelum diatur persyaratan administrasi seperti tersebut tadi yang mana pelaksanaannya hanya dengan upakara dan disaksikan oleh masyarakat lingkungan.



B. Sarana upacara

Sarana Upacara selalu ditunjang dengan sarana Upakara yang sudah lazim terdiri dari :

1. Berwujud dedaunan, seperti : daun kelapa, daun enau, daun pisang, daun sirih, dan sebagainya.

2. Berwujud buah-buahan, seperti : buah kelapa, beras/padi, pinang, kacang-kacangan dan lain lain.

3. Berwujud bunga-bungaan atau kembang.

4. Berwujud air.



C. Pelaksanaan Upacara :

1. Yang bersangkutan (orang yang akan disudhiwadani) mengajukan permohonan pensudhian kepada PHDI setempat dengan melampirkan surat pernyataan masuk agama Hindu dan Paspoto.

2. Pihak Parisada sebagai penanggung jawab pelaksanaan upacara Sudhi wadani nenunjuk salah seorang rohaniawan untuk memimpin upacara, mempersiapkan upakara dan tempat pelaksanaan upacara.

3. Setelah ditentukan pemimpin upacara, Upakara, tempat upacara, Parisada memanggil calon yang akan disudhikan, biasanya di Pura atau tempat suci lainnya yang dipandang cocok.

4. Pemimpian upacara terlebih dulu mengantarkan upakara dengan puja mantra kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya yang dipusatkan di Padmasana.

5. Calon yang disudhiwadani diharapkan sudah siap lahir batin dengan berpakaian bersih dan rapi serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Hyang Widhi sebagai saksi agung.

6. Upacara Byakala sebelum memasuki halaman tempat suci dengan doa :

“Om kaki bhuta penampik lara, kaki bhuta penampik klesa, ngunduraken bhaya kalaning manusaning hulun.

Om ksama sampurna ya nama”.

7. Setelah melaksanakan upacara Byakala, orang yang disuddhikan diantar masuk kedalam tempat suci, kemudian dilakukan upacara prayascita. Upacara ini bertujuan yang bersangkutan dapat dibersihkan dan disucikan dari kotoran sehingga Atma yang bersemayam dalam diri pribadinya dapat memancarkan sinarnya.

Doanya :

“ Om Sri Guru Saraswati, sarwa roga, sarwa papa, sarwa klesa, sarwa kali, kuluwasa ya namah swaha “.

8. Upacara selanjutnya adalah persembahan upakara berupa Tataban atau ayaban sebagai pernyataan terima kasih kehadapan Hyang Widhi.

Doanya :

“ Om Bhuktyantu sarwa dewa bhuktyantu tri

Loka natham sageneh sapariwarah, sarwagah, sadhasidasah “.

9. Setelah selesai menghaturkan upakara, pemimpin upacara membacakan pernyataan yang sudah di tulis oleh yang melakukan Suddhi Wadani, kemudian ditirukan dengan seksama. Adapun bunyi surat pernyataan yang ditulis pada blangko surat pernyataan oleh calon Suddhi Wadani adalah sebagai berikut :

a. Om tat Sat Ekam eva adwityam Brahman

Sang hyang widhi wasa hanya satu tidak ada duanya.

b. Satyam eva jayate

Hanya kebenaran yang jaya ( menang )

c. Dengan melaksanakan ajaran agama Hindu kebahagiaan pasti akan tercapai.

Kemudian selesai mengucapkan pernyataan tersebut, yang disuddhikan disuruh menepati pernyataannya itu dengan mengucapkan janji sebagai berikut :

a. Bahwa saya akan tunduk serta taat pada hukum Hindu.

b. Bahwa saya tetap akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran serta batin untuk dapat memenuhi kewajiban saya sebagai umat hindu.

Kemudian di lanjutkan dengan penandatanganan Surat Keterangan Sudhi Wadani, baik oleh yang bersangkutan maupun oleh para saksi-saksi.


10. Setelah penandatanganan selesai dilanjutkan dengan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh pemimpin upacara guna memohon persaksian dan restu dari Hyang Widhi.

Adapun rangkaian persembahyangannya sebagai berikut :

a. Menyembah tanpa sarana ( tangan kosong ) yaitu tangan dicakupkan, diangkat setinggi dahi sehingga ujung jari sejajar ubun-ubun. Doanya : om atma tattwatma sadhanam swaha.

Artinya :

Hyang widhi yang merupaakn atma tattwa, sucikanlah hamba.

b. Menyembah dengan bunga/kembang.

Tangan menjepit bunga, ujung jari sejajar ubun-ubun ditujukan kehadapan Siwa Raditya, manifestasi Hyang widhi sebagai Dewa Surya untuk menyaksikan semua persembahan manusia.

Doanya :

Om adiyasya paramjyoti, raktateja namo stute

Sweta pankaja madhyasta bhaskara ya namo stute,

Om pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam,

Pranamyaditya ciwartam bhukti mukhti warapradham,

Om rang ring sah parama ciwaditya namo namah swaha.

Artinya :

Hyang widhi hamba sembah Engkau dalam manifestasi sebagai sinar surya yang merah cemerlang, berkilauan cahaya-Mu, Engkau putih suci bersemayamditengah-tengah laksana teratai, Engkaulah Bhaskara yang hamba puja selalu.

Hyang widhi, cahaya sumber segala sinar binasa.

Karena Dikau adalah sumber bhukti dan mhukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani. Hamba memuja-Mu, Hyang widhi paramaciwaditya.



c. Menyembah dengan Kwangen.

tangan menjepit Kwangen, ujung jari sejajar ubun-ubun sehingga permukaan kwangen berada lebih tinggi dari ubun-ubun. Pemujaan dengan kwangen ini ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Ardanareswari.

Doanya :

Om, namah dewa adhistanaya, sarwa wyapiwai ciwaya,

Padmasana eka pratisthaya ardhanarecwaryainamo namah.

Artinya :

Hyang Widhi hamba memujuamu sebagai sumber sinar yang hamba muliakan, hamba memuja dikau sebagai Siwa penguasa semu makhluk, bertahta pada Padmasana sebagai satu-satunya penegak. Engkaulah satu-satunya wujud tunggal Ardanareswari yang hamba hormati.



d. Menyembah dengan Kwangen.

Tangan menjepit kwangen, ujung jari sejajar ubun-ubun ditujukan kehadapan Hyang Widhi guna memohon anugrah.

Doanya :

Om Anugraha manohara dewadatta nugrahaka

Arcanam sarwapujanam, namahsarwanugrahaka. Dewa-dewi mahasiddhi, yajnakita mulat idham, laksmisidhisca dhirgayuh, nirwignam sukha wrdhisca. Om ghring anugraha arcane ya namo namah swaha, om ghring anugraha manoharaya namo namah swaha.

Artinya :

Hyang widhi, limpahkanlah anugerah-Mu yang menggembirakan pada hamba, Hyang widhi maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan, yang dicita-citakan serta dipuji-puji dengan segala pujian. Hamba puja Engkau yang melimpahkan segala macam anugrah, sumber kesiddhian semua dewata yang semua berasal dari yajna kasih saying-Mu.

Limpahkanlah kemakmuran, kesiddhian, umur panjang serta keselamatan. Hamba puja dikau untuk dianugrahi kebaktian dan kebahagiaan.



e. Menyembah tanpa sarana.

Tangan dicakupkan diangkat sejajar dahi, sehingga ujung jari sejajar ubun-ubun. Tujuan menyembah terakhir ini untuk mengucapkan terima kasih atas anugrah yang dilimpahkan.

Doanya :

Om dewa suksma parama-achintya nama swaha

Om santih santih santih Om

Artinya :

Hyang widhi, hamba memuja-Mu dalam wujud suci yang gaib serta wujud maha agung tak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai dihati, damai didunia, damai selalu.

Dengan demikianlah berakhirlah rangkaian persembahyangan yang kemudian disusul dengan memohon tirtha ( air suci ) yang dipercikan, diminum, dan diraup.

Doanya :

Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, sadham wari astu.

Artinya :

Pertama suci, kedua suci, semoga disucikan dengan air ini.



11. Sebagai rangkaian terakhir dari pelaksanaan upacara Suddhi Wadani adalah Dharma Wacana yang diberikan oleh Parisaddha Hindu Dharma atau yang mewakili. Tujuan dharma wacana ini diberikan adalah untuk memberikan bekal dan tuntunan kepada umat hindu yang baru mulai menganut agama Hindu sehingga mereka mengetahui isi ajaran agama Hindu. Upacara ditutup dengan memberikan ucapan selamat oleh yang ikut menyaksikan berlangsungnya upacara pensudhian. Selanjutnya diakhiri dengan Parama santhi.


III. FORMULIR PERNYATAAN


DHA DHA ITTIDAM DATTA DAYA DIVAM SUDDHI VADHANI

( SURAT PERNYATAAN BERAGAMA HINDU )

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


I. Yang bertanda tangan di bawah ini :

1. Nama  :

2. Umur/tanggal lahir   :

3. Pekerjaan   :

4. Bangsa/suku  :

5. Tempat tinggal   :

6. Bapak :

a. Nama   :

b. Alamat  :

7. Ibu :

a. Nama   :

b. Alamat   :

II. Menyatakan dengan tulus hati dan kemauan sendiri, tanpa bujukan atau pengaruh dari orang lain, masuk agama Hindu dengan keyakinan :

1. OM TAT SAT EKAM EVA ADWITYAM BRAHMAN, Sang Hyang Widdhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) adalah tunggal tidak ada duanya.

2. BRAHMAN, ATMAN, KARMAN, SAMSARA DAN MOKSA adalah lima pokok keyakinan/PANCA SRADA AGAMA HINDU.

3. MOKSARTHAM JAGADHITAYA CA ITI DHARMA :

Kebahagiaan rokhaniah yang kekal abadi serta kesejahteraan dunia adalah tujuan dari Dharma ( Agama Hindu )

4. Dengan kepatuhan dan kesetiaan menjalankan ajaran agama Hindu kebahagiaan pasti akan tercapai.

III. Untuk menepati maksud dan tujuan saya tersebut diatas saya sanggup dan berjanji:

1. Bahwa saya akan tunduk dan taat pada Hukum agama Hindu

2. Bahwa saya akan tetap berusaha sekuat tenaga dan pikira untuk memenuhi kewajiban saya sebagai umat Hindu.

3. Bahwa saya bersedia untuk di suddhikan menurut ketentuan-ketentuan Agama Hindu.

IV. Demikianlah Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dan saya tanda tangani dihadapan para saksi, Pandita/Pinandita yang namanya tersebut dibawah ini :



SAKSI I.  SAKSI II.



1. Nama :  1. Nama :

2. Umur :  2. Umur :

3. Pekerjaan :  3. Pekerjaan :

4. Alamat :  4. Alamat :



Dapus:
http://www.hindubatam.com/upacara/sudhi-wadani/pengertian-sudhi-wadani.html
http://www.hindubatam.com/upacara/sudhi-wadani/tata-cara-sudhi-wadani.html
http://www.hindubatam.com/upacara/sudhi-wadani/formulir-pernyataan.html

Wednesday, February 13, 2013

Pandangan ajaran Hindu tentang Valentine Day

Sebenarnya mengikuti perkembangan zaman tidak salah asal tetap berpijak pada jati diri sebagai orang Timur dan selaku umat beragama yang sangat menjungjung tinggi moralitas. Tak kecuali turut merayakan Valentine Day (hari kasih sayang) bersama kawula muda dunia lainnya. Bagi agama Hindu masalahnya bukan dari mana, produk budaya apa suatu perayaan itu, melainkan lebih melihat pada nilai apa yang didapat dari peringatan itu. Kalau ternyata dalam praktek perayaan hari kasih sayang itu lebih dominan menampilkan sisi hura-hura, pelampiasan kasih sayang ragawi (nafsu birahi) yang bahkan oleh suatu media disebut sebagai hari “penyerahan perawan” jelas dengan tegas bahkan keras ditolak.

Hari apapun yang hendak diperingati atau dirayakan haruslah lebih menekankan pada esensi nilai bukan kemasan seremoninya. Dan lagi pula kalau memang kita sudah mulai menghayati apa sesungguhnya arti “kasih sayang/cinta kasih” itu maka tanpa menunggu datangnya tanggal 14 Februari pun yang namanya rasa kasih sayang atau cinta kasih dapat direalisasikan ke dalam bentuk perbuatan angawe sukanikanang won glen. Mulai dari mangasihi, menyayangi, dan mencintai diri sendiri, orang tua, saudara sampai kepada Bhatara-Bhatari dan memuncak pada Hyang Widhi.

Dalam ajaran Hindu sendiri apa yang disebut dengan cinta kasih tidak lain merupakan konsep bhakti. Bhakti itu artinya luapan perasaan cinta kasih atau kasih sayang yang dilandasi kebersihan pikiran, kesucian hati dan ketulus iklasan yang tanpa pamrih. Bhakti itu dapat ditujukan kepada orang tau dengan hormat dan patuh padanya. Kepada saudara dengan menghargainya, kepada teman dengan kesetia kawanan dan kepada Bhatara-Bhatari serta Hyang Widhi melalui media persembahan dan atau persembahyangan. Kesemua wujud bhakti tersebut merupakan realisasi dari kasih sayang/cinta kasih yang hakiki. Dan itu bisa dilakukan setiap hari, kapan saja dan dimanapun berada.

Jadi bila ditanyakan relevansi Valentine Day menurut Hindu memang memiliki nilai esensi yang sama dengan ajaran bhakti. Tetapi yang membedakannya sebagaimana sudah menggejala adalah prakteknya yang sudah mulai menyimpang. Tidak lagi menekankan pada sisi keagungan arti sebuah cinta/kasih sayang itu melainkan sudah mengikuti trend budaya barat yang lebih menampilkan sisi cinta sebagai dorongan nafsu ragawi. Maka tak heran Valentine Day banyak diisi dengan acara hura-hura bahkan seperti disinyalir media ibukota sudah mengarah pada praktek seks bebas sampai dengan penyerahan perawan. Jika sudah sampai sejauh itu, tentu bahasa agama hanya bisa mengingatkan kawula muda Hindu untuk kembali pada konsep bhakti yang lebih bernilai luhur dan berphahala kemuliaan dari pada sekedar mengikuti trend Valentine Day yang belum tentu berguna dan sesuai dengan budaya Hindu.


Dapus:
http://desatamblang.blogspot.com/2008/08/apa-pandangan-hindu-tentang-valentine.html

Sunday, February 10, 2013

Hari Purnama dan Tilem


Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.

Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama dan Tilem dapat ditemui dalam Sundarigama yang mana disebutkan:

'Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"

Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.

Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air.

Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan kepada Hyang Widhi.

Dapus:
http://www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/hari-purnama-dan-tilem.html

Saturday, February 9, 2013

Catur Paramitha dan Catur Aiswarya


CATUR PARAMITHA
Catur Paramitha adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita, dan Upeksa.
  1. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur untuk kebahagiaan segala makhluk.
  2. Karuna adalah belas kasihan atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki terhapusnya penderitaan segala makhluk.
  3. Mudita artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain.
  4. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang lain.
Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa manusia ke arah kemuliaan.


CATUR AISWARYA

Catur Aiswarya adalah suatu ajaran kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir bathin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya, dan Aiswarya.
  1. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu berdasarkan atas kebenaran.
  2. Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir bathin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia.
  3. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan duniawi misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya.
  4. Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapat dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara.

Thursday, February 7, 2013

Filosofi Saput Poleng



Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam budaya dan tradisi masyarakat. Negara kita merupakan bangsa majemuk dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa. Kebhinekaan memang merupakan kekayaan dan sumber kekuatan bangsa, namun harus kita akui bahwa kebhinekaan juga mengandung kerawanan jika kita tidak pandai menjaganya. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia semenjak berabad-abad yang lalu, bangsa kita pernah menjadi kelinci percobaan penjajah yang dengan mudahnya di adu domba. Dengan beragamnya dimensi sosial yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah di antara segenap insan sosial. Akankah hal ini terulang kembali? Tentunya tidak bukan! Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tatanan ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi yang Maha Pencipta tidak pernah menciptakan sesuatu yang sama. Mahluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai dengan kemajemukan. Terlihat dari warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa, dan agama. Seseorang yang beragama Hindu, misalnya pasti akan bergaul dengan pemeluk agama yang lain. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi plurastik terjadi dan dapat dipastikan semua agama mengakuinya.


Pecalang (Polisi adat Bali)

Ilustrasi


Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.

Agar hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain. Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai, yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya. Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur. Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi saput poleng saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput poleng Tridatu. Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma. Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).

Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.

Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama. Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan perpecahan diantara kita semua. Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.

Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.

Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk. Warna merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik.

Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”. Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan” (Yayurweda, 40.7). Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.

Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian…