Monday, January 14, 2013

Penjelasan Tentang Hindu Keharingan



Agama Hindu sudah berusia ribuan tahun. Diperkirakan telah ada sejak 5 ribu tahun yang lalu. Agama ini mula-mula dianut oleh masyarakat India di sepanjang sungai Sindu. Kemudian ajaranNya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai sebuah agama memiliki pula kitab suci yang bernama Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda, Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha. Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta, Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll) dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Kemudian muncul berbagai kitab Nibanda dengan bermacam penafsiran yang ditulis oleh para Mahareshi, Reshi dan cendekiawan Hindu. Kelompok kitab Nibanda ini antara lain adalah kitab Sarasamuscaya, Purwamimamda, Brahmasutra,Wedantasutra, Reinterpretasi dan revitalisasi selalu dilakukan terhadap kitab suci Weda ini. Oleh sebab itu orang luar sering keliru dalam menilai perkembangan serta pelaksanaan agama Hindu di berbagai negara atau daerah setempat. Di Indonesia muncul istilah Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Kaharingan, Hindu Toraja, dan lain-lainnya. Kemunculannya ini disebabkan pelaksanaan ajaranNya berbeda-beda sesuai dengan daerah (desa), zaman (kala), dan manusia atau lingkungannya (patra). Demikian pula dalam penyebutan Tuhan, mempunyai kekhasan/spesifikasi masing-masing, mempergunakan bahasanva sendiri. Misalnya Ran ying Hatalla (Kaharingan), atau Hyang Widhi (Bali, Jawa) adalah sebutan untuk Tuhan. Dengan cara penyebutan seperti ini mereka lebih merasakan keberadaan Tuhan di dalam hati sanubarinya sendiri dibandingkan dengan menyembah Tuhan berdasarkan bahasa Weda, seperti Brahman misalnya.
Umat Hindu Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan
Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Isi dan kitab suci Panaturan tidaklah jauh berbeda dengan isi kitab atau lontar bercorak Hindu yang ada di Bali, atau di tempat lainnya. Terdapat pula di dalamnya petunjuk tentang pelaksanaan tata cara basarah (persembahyangan), melakukan upacara dan upakara Panca Yadnya. Misalnya dalam upacara Manusa Yadnya, Nahunan adalah upacara kelahiran yang terdiri atas upacara Paleteng (hamil 5 bulan), Nyaki Ehet (hamil 7 bulan), Mangkang Kahang Badak (hamil 9 bulan), dan upacara Nahunan pemberian nama anak. Ada pula upacara perkawinan yang mereka sebut Lunuk Hakaja Pating. Demikian pula dengan upacara lainnya dalam Dewa Yadnya, Reshi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Seluruh pelaksanaan yadnya tersebut dilakukan berdasarkan atas petunjuk yang ada di dalam kitab suci Panaturan.
Para dosen Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP; Tampung = perkumpulan, Penyang = semangat; semangat bersatu) Palangkaraya Kalimantan Tengah telah menyusun mata kuliah Acara Agama Hindu Kaharingan yang dipergunakan sebagai pegangan dasar pada waktu mereka mengajar mata kuliah Acara Agama Hindu di sekolahnya. Ketua STAHN-TP, Drs. Midday, MM, yang semula dosen di Universitas Palangkaraya, sebagai warga suku Dayak Kaharingan, sangat peduli akan masalah peningkatan kualitas akademik warganya, khususnya dalam pendidikan agama Hindu.

Salah seorang alumninya, Mariatie, SAg, seorang wanita Dayak Kaharingan yang energik, sekarang dosen di almamater nya, ditugaskan sebagai koordinator untuk menyusun buku Pedoman Acara Agama Hindu Kaharingan. Buku pedoman ini sebagian besar bersumber dari kitab suci Panaturan, sebuah kitab suci yang telah dimiliki oleh warga Dayak Kaharingan sejak jaman dahulu. Kitab suci inilah yang dipergunakan sebagai penuntun dan pedoman oleh warga suku Dayak Kaharingan oleh para dosen STAHN Tampung Penyang diharapkan tidak hanya warga Dayak Kaharingan, khususnya para mahasiswa, akan lebih memahami tentang tattwa, etika dan upacara serta upakara agama Hindu yang berkembang di suku Dayak Kaharingan, tetapi juga masyarakat lainnya di Nusantara ini, bahkan juga orang asing yang ingin tahu tentang Hindu Kaharingan.®WHD. No. 500 Agustus 2008.
Penduduk asli Pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Mereka terbagi dalam 405 sub suku, yang masing-masing mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Dan ratusan subsuku Dayak tersebut, Ch.F.H. Dumani membagi Suku Dayak dalam 7 kelompok, yaitu Ngaju, Apu, Kayan, Iban, Klemantan (Darat), Murut, Punan, dan Danum. Sedangkan Tjilik Riwut juga membagi dalam 7 kelompok, tetapi sedikit berbeda dengan Ch.F.H. Duman, yaitu:
1) Dayak Kayan, yang daerah persebaraniniya meliputi Kabupaten Bulungan di Kalimantan Timur dan Serawak di Malaysia;
2) Dayak Punan, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Berau dan Kutai di Kalimantan Timur;
3) Dayak Iban, yang daerah persebarannya meliputi Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat dan Serawak di Malaysia;
4) Dayak Ot Danum, yang daerah persebarannya meliputi bagian besar Kalimantan Tengah;
5) Dayak Klemantan, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Barat bagian selatan;
6) Dayak Ngaju, yang daerah persebarannya mehiputi Kahimantan Selatan dan Kalimantan Tengah bagian Tengah;
7) Dayak Kenyah, yang daerah persebarannya meliputi Hulu Sungai Belanyan dan Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.

Sebelum datangnya agama-agama tradisi besar dan resmi diakui oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak memiliki kitab suci dan ajarannya hanya disampaikan secara lisan dan turun-temurun. Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak mempercayai banyak dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang menguasai tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dari dewa-dewa tersebut, terdapat dewa yang tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda antara Sub suku Dayak satu dengan yang lainnya, misalnya Dayak Ot Danum menyebut dewa yang tertinggi Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya Ranying Mahatalla Langit. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu pekerjaan harus meminta ijin terhadap dewa-dewa yang bersangkutan agar tidak terjadi bencana, kesialan, sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga mengenal isyarat-isyarat alam apabila hendak bepergian jauh, seperti arah terbang burung, suara burung-burung tertentu, ada ular yang melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini bukan karena orang Dayak tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya adanya Tuhan, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung kepada manusia, melainkan dengan perantara alam atau isyarat-isyarat alam tersebut.
Suku Dayak sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar, termasuk di antaranya kehadiran agama-agama tradisi besar. Dengan keterbukaannya tersebut, maka dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk menyebarkan agamanya. Islam telah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh kaum pendatang yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Melayu, Bugis, dan sebagainya. Suku Dayak yang tinggal di daerah pesisir dan banyak berhubungan dengan para pendatang dari suku-suku lain, banyak yang kemudian memeluk agama Islam. Sedangkan kegiatan misionaris agama Kristen Katholik dan Kristen Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan dan berjalan dengan gencar sejak abad ke-19. Dalam upaya Kristenisasi dan Katholikisasi terhadap Suku Dayak di pedalaman, mereka banyak menggunakan media pelayanan sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, dan pelayanan kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama tradisi besar ini cukup berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya sehingga pada saat ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama Islam, Kristen, maupun Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan pada kepercayaan Kaharingan.

Kedatangan agama-agama tradisi besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk terhadap kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan agama-agama tradisi besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan di luar mereka sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus diluruskan sesuai dengan ajaran agama mereka. Seorang Dayak yang sudah menganut Islam akan merasa malu mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia akan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Melayu.

Menurut pandangan mereka, orang Melayu dengan agama Islamnya identik dengan kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang Dayak dengan kepercayaan Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan dan kekolotan. Sementara itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga tidak mendukung pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak upacara Suku Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan roh nenek moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan yang dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan Katholik, seperti upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya. Dengan hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya.

Pada jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan Budha. Hal ini mengakibatkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan penyebar agama tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Pada akhirnya para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu Dharma sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat Suku Bali sebagai penganut agama Hindu Dharma mayoritas di Indonesia. Persamaan antara kepercayaan Kaharingan dengan ajaran Hindu Dharma adalah sebagai berikut:
1) Percaya Reinkarnasi, yaitu percaya bahwa roh yang telah meninggal dapat lahir kembali, baik ke dalam tubuh manusia, binatang, tumbuhan, atau bersemayam pada benda-benda mati, misalnya batu besar, pertemuan sungai, puncak-puncak gunung, dan sebagainya.
2) Upacara kematian dan pemujaan terhadap arwah leluhur. Orang-orang Dayak memiliki tradisi yang beraneka ragam dalam memperlakukan jenazah dengan tiga cara, yaitu dikubur di dalam tanah, disemayamkan di atas tanah atau diatas pohon di dalam hutan, dan dikremasi. Sedangkan Dayak Ngaju menguburkan jenazah di dalam tanah terlebih dahulu, setelah beberapa tahun kemudian digali kembali dan tulang-tulangnya dibakar. Upacara ini mempunyai persamaan dengan di Bali, di mana jenazah orang yang meninggal ada yang dikremasi dikubur di dalam tanah, atau disemayamkan di atas tanah. Arwah leluhur yang telah meninggal pada masyarakat Dayak dipercayai bersemayam di puncak-puncak pegunungan atau di hutan-hutan dan mempunyai kekuatan untuk melindungi keturunannya. Sedangkan di Bali arwah leluhur dipuja di mrajan (pura milik keluarga).
3) Upacara yang berkaitan dengan pemujaan kepada lingkungan alam. Lingkungan alam yang paling dekat dengan Suku Dayak adalah lingkungan hutan. Manfaat hutan bagi orang Dayak, antara lain:
a. berkaitan dengan kepercayaan hutan sebagai tempat tinggal dewa penguasa hutan dan arwah nenek moyang yang melindungi manusia.
b. berkaitan dengan sumber mata pencaharian : hutan sebagai sumber kehidupan karena merupakan tempat untuk berburu binatang dan mencari makanan.

Di Bali praktik upacara-upacara yang berhubungan dengan lingkungan alam masih berjalan lestari sampai saat ini, seperti upacara Tawur Agung, Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, dan sebagainya.

Setelah bergabung dengan agama Hindu Dharma, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Hindu Dharma. Konsekuensi logis dan bergabungnya mereka ke dalam agama Hindu Dharma adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu Dharma di Indonesia.

Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan bergulir semangat reformasi, maka timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian dari mereka menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma dengan tetap mengakui PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu yang resmi diakui oleh pemerintah. Sebagian lagi menyatakan bahwa Hindu Kaharingan sebagai agama yang berdiri sendiri, terpisah dari agama Hindu Dharma. Pada saat ini mereka tengah memperjuangkan kepada pemerintah agar agama Hindu Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah, sejajar dengan agama-agama lainnya. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di luar PHDI. Namun tampaknya juga belum ada kesepakatan bersama dalam membentuk “PHDI Tandingan” ini. Hal ini terlihat dari beberapa nama majelis yang ditawarkan sebagai wadah umat Hindu Kaharingan, antara lain BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia) dan Majelis Hindu Kaharingan.

Dari uraian di atas, dapat diketahui permasalahannya, yaitu mengapa umat Hindu Kaharingan terpecah menjadi dua? Di satu pihak menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma, di lain pihak menginginkan Hindu Kaharingan berdiri sebagai agama tersendiri, lepas dari agama Hindu Dharma, dan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Kebijakan apa yang sebaiknya ditempuh pemerintah untuk mengatasi hal ini?
Antara umat Hindu Kaharingan yang tetap ingin bergabung dan yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma tersebut tentu memiliki pemahaman yang berbeda mengenai ajaran Hindu Dharma itu sendiri. Pihak yang ingin keluar dari agama Hindu Dharma menganggap ajaran Hindu Dharma tidak cocok diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Di pihak lain, sebagian dari mereka menganggap ajaran Hindu Dharma cocok dan relevan untuk diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Untuk itu perlu dibahas satu demi satu aspek-aspek ajaran Hindu Dharma yang relevan dengan kepercayaan Kaharingan.
1. Konsep-Konsep Upacara dalam Ajaran Hindu Dharma
      Di dalam ajaran agama Hindu Dharma, upacara-upacara keagamaan terbagi dalam lima kelompok besar, atau sering disebut dengan Panca Yadnya. Kelima kelompok hesar tersebut adalah:
a) Dewa Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan beserta seluruh manifestasinya (perwujudan Tuhan dalam bentuk dewa-dewa);
b) Rsi Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para rsi, pandita, nabi atau kaum ulama, karena berjasa sebagai perantara dalam menjalin hubungan antara manusia dengan Tuhan dan untuk memberikan ajaranajaran suci kepada manusia.
c) Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para leluhur atau orang tua yang sudah meninggal sebagai perantara kelahiran manusia
d) Manusa Yadnya, yaitu upacara yang berkaitan dengan daur hidup manusia, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian.
e) Bhuta Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk menjalin keharmonisan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta, seperti gunung, laut, sungai, dan sebagainya. Termasuk pula di dalamnya kehidupan yang lebih rendah dan manusia, yaitu makhluk halus, binatang dan tumbuhan.

Di samping konsep Panca Yadnya, ajaran Hindu Dharma juga mengenal konsep Tri Hita Karana, yaitu konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Upacara adalah sarana untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan elemen-elemen yang ada di dalam Tri Hita Karana tersebut. Dalam hal ini upacara Dewa Yadnya adalah untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan manusia; sedangkan Bhuta Yadnya untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta. Dengan demikian jenisjenis upacara tradisional pada agamaagama tradisi kecil sebenarnya telah tercakup di dalam konsep Panca Yadnya dan Tri Hita Karana.
WHD No. 507-508 Maret – April 2009.
Upacara-upacara dan hari-hari besar keagamaan dalam agama-agama tradisi besar, yang sering disebut dengan hari raya, biasanya diperirtgati oleh seluruh umatnya dan berbagai suku bangsa di dunia tanpa kecuali. Di dalam agama Islam dikenal hari raya Maulud Nabi, Idul Adha, dan Idul Fitri; di dalam agama Kristen dan Katholik dikenal hari raya Natal dan Paskah; dan di dalam agama Budha dikenal hari raya Waisak. Berbeda dengan agama-agama tradisi besar lainnya, agama Hindu tidak mengenal doktrin yang menegaskan adanya hari-hari besar keagamaan yang harus diyakini dan diperingati oleh umatnya dari berbagai suku bangsa di dunia. Hari-hari besar keagamaan Hindu Dharma ditentukan sepenuhnya oleh kebijakan lokal dengan berdasarkan konsep Desa, Kala, Patra (Tempat, Waktu dan Kondisi). Dengan mengacu pada konsep Desa, Kala, Patra tersebut, maka peringatan hari-hari besar keagamaan Hindu antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya menjadi berbeda-beda, misalnya umat Hindu keturunan India mengenai hari raya Dipavali, umat Hindu Suku Bali mengenai hari raya Galungan Kuningan, dan umat Hindu Suku Tengger mengenal hari raya Kasada. Penekanan ajaran Hindu Dharma tidak ada penyeragaman hari-hari raya besar keagamaan, yang harus diakui oleh umat-umat Hindu di luar Bangsa India, tetapi pada penghayatan terhadap makna dan hakekat dan upacara-upacara tersebut, yang dalam hal ini telah dijabarkan di atas, yaitu dalam konsep panca yadnya, Tri hita karana, dan desa kala patra.
 
2. Upacara Kematian Suku Dayak Dilihat dan Sudut Pandang Agama Hindu Dharma
Di dalam ajaran Hindu Dharma, manusia dan juga benda-benda fisik lainnya di alam semesta, terdini dan lirna unsur dasar, atau yang disebut dengan Panca Maha Bhuta, yaitu unsur air, api, angin, tanah, dan akasa (hampa udara/ruang kosong). Apabila seseorang meninggal dunia, maka unsur-unsur penyusun tubuhnya kembali ke unsur-unsur dasar tersebut. Kematian Seseorang menimbulkan kewajiban bagi orang-orang yang masih hidup untuk melakukan serangkaian upacara untuk mempenlakukan jenazah, yang mana tujuannya adalah agar badan jasmaninya dapat segera dikembalikan ke unsur Panca Maha Bhuta dan atmannya dapat segera bersih dan kembali kepada Tuhan. Usaha untuk mengembalikan tubuh orang yang telah meninggal kepada unsur Panca Maha Bhuta dan atmannya dapat segera bersih dan kembali kepada Tuhan. Usaha untuk mengembalikan tubuh orang yang telah meninggal kepada unsur Panca Maha Bhuta dapat dilakukan dengan cara dikremasi (kembali ke unsun api), dikubur di dalam tanah (kembali ke unsur tanah), dilarung ke sungai atau laut (kembali ke unsun air), atau disemayamkan di atas tanah/pohon (kembali ke unsur udana). Semua jenis upacara kematian tersebut adalah benar menurut pandangan Hindu apabila Dharma dihantarkan dengan upacara-upacara untuk membersihkan arwahnya dan kekotoran perbuatannya selama di dunia, agar dapat segera kembali kepada alam Ketuhanan.
 
Pada Suku Dayak, arwah atau atman lelahur yang telah diupacarai dengan bersemayam di puncak-puncak pegunungan. Sebagai arwah-arwah yang telah suci dan berada di alam Tuhan, mereka dapat dipanggil kembali untuk dimintai pertolongan apabila manusia, khususnya keturunannya, menemui kesulitan-kesulitan. Dalam hal ini bukan berarti mereka tidak percaya terhadap pertolongan Tuhan. Pertolongan Tuhan akan datang melalui perantara arwah leluhur yang telah disucikan tersebut. Kepercayaan terhadap kekuatan arwah leluhur ini menimbulkan upacara-upacara pemujaan kepada arwah leluhur, yang mana di dalam ajaran agama Hindu Dharma disebut dengan Pitra Yadnya.
 
Para misionaris agama-agama tradisi besar pada umumnya menganggap upacara pemujaan terhadap arwah leluhur sebagai sesuatu tindakan yang tidak masuk akal dan melanggar konsep pemujaan kepada Tuhan. Oleh karena itu banyak dan para misionaris agamaagarria tradisi besar di dalam melakukan “pembinaan umat” berusaha menghapuskan jenis-jenis upacara seperti ini dan masyarakat Suku Dayak. Tindakan untuk menghapus upacara-upacara pemujaan arwah leluhur tanpa memahami makna di balik upacara tersebut, sebenamya justru akan menghapuskan satu mata rantai nilai-nilai budaya Suku Dayak, namun hal-hal seperti ini pada umumnya tidak disadari oleh para misionaris.
 
3. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus dan Roh Penunggu pada Suku Dayak Menurut    Pandangan Hindu Dharma. 
Upacara “pemujaan” terhadap makhluk-makhluk halus atau roh-roh penunggu adalah termasuk di dalam jenis upacara Bhuta Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya dalam ajaran Hindu Dharma adalah bertujuan untuk membersihkan suatu tempat beserta isinya dari kekuatan negatif yang dapat menyebabkan malapetaka bagi manusia. Upacara Bhuta Yadnya sebenarnya tidak dilandasi oleh “rasa takut” terhadap makhluk-makhluk halus dan roh-roh penunggu. Makhluk-makhluk halus dan roh-roh penunggu tersebut dihayati sebagai ciptaan Tuhan juga yang mempunyai hak untuk hidup sebagaimana halnya manusia. Oleh karena itu, apabila karena sesuatu hal manusia terpaksa mengusik kehidupan mereka, misalnya membuka hutan untuk perladangan atau menebang pohon besar untuk diambil kayunya, maka dilakukan upacara untuk “meminta maaf” karena tempat tinggalnya diusik untuk kepentingan manusia. Upacara yang dilakukan di sini bukan sebagai pemujaan terhadap makhluk-makhluk halus tersebut, melainkan sebagai wujud etika dan kasih sayang (tat twam asi) terhadap sesama hidup dan usaha mewujudkan kehidupan yang harmonis. Apabila manusia mengusik tempat tinggal mereka tanpa mengindahkan etika kehidupan bersama dan kasih sayang, maka akan menimbulkan amarah bagi makhluk-makhluk tersebut. Dengan demikian mereka ganti akan mengganggu kehidupan manusia yang tidak mengindahkan etika tersebut. Hal ini yang dilihat sebagai malapetaka atau kesialan yang dialami manusia.
 
4. Penerapan Ajaran Hindu Dharma dalam Kepercayaan Kaharingan 
Konsekuensi logis dari masuknya kepercayaan Kaharingan di dalam agama Hindu Dharma adalah kewajiban bagi PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu Dharma untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat Dayak. Di dalam pembinaan ini mereka diperkenalkan dengan sistem pantheon (ketuhanan), hari-hari besar keagamaan, serta sarana dan prasarana upacara agama Hindu Dharma. Pada kenyataannya, yang digunakan sebagai model dengan adat dan tradisi umat Hindu Suku Bali. Persoalan menjadi muncul ketika praktik-praktik keagamaan masyarakat Dayak akhirnya mulai didominasi oleh praktek keagamaan Hindu etnis Bali, seperti pembuatan tempat ibadah yang mengacu pada bentuk-bentuk pura yang ada di Bali, sesaji yang didominasi oleh bentuk sesaji Bali, pakaian adat Bali, dan sebagainya. Sementara itu sejak dahulu masyarakat Dayak telah memiliki sistem pantheon tersendiri, tempat ibadah sendiri, dan bentuk sesaji tersendiri yang berbeda jauh dengan bentuk sesaji yang ada di Bali. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu untuk memahami bagaimana sistem pantheon, tempat ibadah, dan sesaji menurut Hindu Dharma.
a. Sistem Pantheon Hindu
Pandangan Ketuhanan di dalam Hindu tidak dapat disebut monoteisme maupun politeisme. Max Muller, Seorang peneliti Barat, menyebut pandangan Ketuhanan dalam Hindu adalah Henoteisme, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan sebagai Yang Esa dalam Yang Banyak. Semua dewa dihayati sebagai satu wujud, yaitu sebagai Ekam (Yang Esa). Dengan pandangan ini, maka Hindu memuja satu Tuhan dalam banyak wujud. Oleh karena itu Tuhan dalam Hindu dapat disebut dengan nama dewa-dewa, seperti Brahma, Wisnu, Siwa, Durga, Sang Hyang Widhi, dan sebagainya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka sebenarnya tidak menjadi permasalahan bila sistem pantheon kepercayaan Kaharingan masuk di dalam ajaran Hindu Dharma, di mana Tuhan juga dapat disebut dengan nama Mahatara atau Ranying Mahatalla Langit, nama dewa tertinggi Suku Dayak.
 
b. Rumah Ibadah
Rumah ibadah masyarakat Suku Dayak disebut dengan Rumah Panjang atau Balai Kaharingan. Masyarakat Dayak memiliki naluri untuk selalu hidup bersama. Mereka suka hidup damai dalam komunitas yang harmonis, yang terwujud dalam kehidupan bersama di dalam rumah panjang. Rumah panjang menggambarkan keakraban hubungan keluarga dan masyarakat, serta memperkuat kesatuan dalam kegiatan ekonomi. Ketika kebijakan pembangunan mendorong masyarakat pedalaman untuk berubah, maka perubahan juga terjadi pada pola tempat tinggal masyarakat Dayak, dari rumah panjang sebagai tempat tinggal komunal menjadi rumah-rurnah tunggal sebagai tempat tinggal keluarga inti. Rumah panjang akhirnya ditinggalkan, yang berarti hilang pula fungsinya untuk menjalin keakraban dan memperkuat kesatuan masyarakat Dayak. Satu-satunya sarana untuk tetap dapat menjalin keakraban dan memperkuat kesatuan adalah dengan upacara-upacara adat yang dipusatkan di rumah-rumah panjang. Oleh karena itu rumah panjang menjadi bangunan yang bernilai penting bagi masyarakat Dayak. Melihat sejarah rumah panjang yang semula untuk tempat tinggal komunal dan sekarang hanya untuk kegiatan upacara maka tidak tepat apabila PHDI menerapkan konsep pura sepenti yang ada di Bali kepada masyarakat Dayak. Pemaksaan budaya untuk mendirikan pura lengkap dengan pembagian mandala-mandalanya akan semakin menghilangkan fungsi rumah panjang tersebut. Oleh karena itu dengan tetap berlandaskan pada konsep desa, kala, dan patra, maka rumah panjang sebagai bangunan tempat ibadah untuk umat Hindu Kaharingan hendaknya tetap dipertahankan.
 
c. Sesaji sebagai Sarana Upacara
Sesaji merupakan sarana upacara yang hampir selalu diadakan dalam upacara keagamaan Hindu Dharma. Berdasarkan lontar Yadnya Prakerti, sesaji merupakan simbol dari tiga hal, yaitu: 
1) lambang diri orang atau kelompok yang menghaturkan sesaji;
2) lambang manifestasi Tuhan yang akan dipuja;
3) lambang alam semesta.
 
Dengan demikian sesaji juga mengandung nilai-nilai Tri Hita Karana. Sesaji juga bukan merupakan makanan untuk disuguhkan kepada Tuhan, tetapi sebagai bahasa simbol untuk menyampaikan rasa keimanan dan ketaqwaan manusia kepada Tuhan.
 
Sebagaimana diakui oleh PHDI, sesaji sebagai sarana upacara berbedabeda dan tiap-tiap etnis. Misalnya sesaji yang ditujukan kepada Tuhan oleh orang Bali disebut dengan Daksina, terbuat dari daun lontar yang di dalamnya diisi dengan kelapa, beras, telur, bumbu dapur, dan bunga-bungaan. Sedangkan sesaji orang Dayak disebut Sakai Pulang, yang secara harfiah berarti pohon senjata. Sesaji ini merupakan rangkaian tumbuhan hasil hutan, rotan, dan senjata. Perbedaan bentuk sesaji tidaklah dipersoalkan, yang penting sesaji dapat merupakan lambang bahasa lahiriah untuk mewakili pikiran dan perasaan yang tidak mampu sepenuhnya terwakili oleh bahasa verbal. Di sini sesaji merupakan perwujudan nilai sathyam, siwam, sundaram (kebenaran, kebajikan, dan keindahan). Pemaksaan bentuk sesaji seperti bentuk sesaji Bali akan menyebabkan umat Hindu Kaharingan merasa kebudayaannya dijajah oleh kebudayaan Bali. Bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat menjiwai sesuatu bentuk sesaji versi Bali sebagaimana orang Bali menjiwai sesaji mereka sendiri.
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penolakan sebagian umat Hindu Kaharingan untuk bergabung dengan agama Hindu Dharma lebih disebabkan oleh pemaksaan unsure-unsur budaya Bali terhadap masyarakat Dayak. Pemaksaan unsur budaya Bali tersebut meliputi pemahaman sistem pantheon, bentuk tempat ibadah, bentuk sesaji, dan lain-lain. Dan sebagaimana telah diterangkan di atas, pemaksaan unsur-unsur budaya Bali tersebut sebenarnya justru menyalahi dan ajaran Hindu Dharma.
 
5. Masalah-Masalah yang Muncul Bila Hindu Kaharingan Berdiri Sebagai Agama
    Tersendiri. 

Kepercayaan Kaharingan pada saat ini masih tergolong dalam Agama Tradisi Kecil. Ajaran-ajaran kepercayaan Kaharingan selama ini hanya diikuti oleh sebagian masyarakat Suku Dayak. Selain Suku Dayak tidak ada suku yang menganut kepercayaan Kaharingan. Dengan kata lain ajaran kepercayaan Kaharingan pada saat ini belum dapat menembus lintas batas kebudayaan antar bangsa, sebagaimana yang diisyaratkan dalam agama-agama tradisi besar. Sebagian dari masyarakat Dayak sendiri telah memeluk salah satu agama tradisi besar, seperti Islam, Kristen, dan Khatolik; sebagian lagi dari mereka yang memeluk kepercayaan Kaharingan memilih tetap bergabung dengan Hindu Dharma. Dengan demikian hanya sebagian kecil saja dari masyarakat Dayak sendiri yang mendukung agar kepercayaan Kaharingan diangkat sebagai agama baru yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Jumlah pemeluk Hindu Kaharingan pada saat ini diperkirakan mencapai 1,4 juta jiwa yang tersebar di 4 propinsi di Kalimantan, yaitu ; Kalimantan Tengah 300 ribu jiwa, Kalimantan Timur 450 ribu jiwa, Kalimantan Barat 650 ribu jiwa, dan Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa.
 
Sampai saat ini kepercayaan Kaharingan juga belum mempunyai kitab suci dan nabi/tokoh pendiri agama yang telah diakui, disahkan, dan digunakan bersama-sama oleh seluruh masyarakat Dayak. Walaupun harus diakui bahwa sebenarnya banyak tokoh Dayak yang mempunyai kearifan untuk memberikan ajaran dan kemampuan supranatural setingkat dengan nabi, tetapi tidak didokumentasikan dengan baik melalui teks-teks suci. Ajaran kepercayaan Kaharingan selama ini hanya dilakukan secara lisan dan turun-temurun. Usaha menyusun kitab suci sudah pernah dilakukan, antara lain dalam Pertemuan Adat Dayak Uud Danum di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, pada tahun 1894. Dalam pertemuan tersebut telah berhasil disusun buku pedoman hukum adat masyarakat Uud Danum, yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Panaturan atau Buku Merah karena sampulnya berwarna merah. Dengan belum adanya kitab suci dan nabi yang disahkan dan yang diakui bersama-sama dalam musyawarah adat, maka penganut kepercavaan Kaharingan akan semakin sulit bertahan terhadap misi misi agama-agama tradisi besar, yang secara agresif berupaya menarik masyarakat “yang belum beragama” ke dalam agama mereka. Apalagi sasaran misi agama-agama ini adalah generasi muda Dayak yang belum sepenuhnya mampu memahami ajaran-ajaran kepercayaan Kaharingan yang diwariskan dari orangtua mereka. Dalam kerangka berpikir generasi muda yang berkembang dewasa ini adalah bahwa agama yang berasal dari Tuhan adalah agama yang mempunyai nabi, nabi tersebut mendapatkan wahyu dari Tuhan, dan nabi tersebut kemudian menuliskan wahyu-wahyu tersebut di dalam teks suci. Dengan kerangka berpikir yang demikian tentu dengan mudah akan dibawa masuk ke agama yang dibawa oleh kaum misionaris agama-agama tradisi besar.
 
Berkaitan dengan penjelasan di atas akan berbeda halnya bila penganut Hindu Kaharingan tetap bergabung dalam agama Hindu Dharma. Meskipun “tidak memiliki seorang nabi yang secara dogmatis harus diakui keberadaannya oleh penganutnya”, agama Hindu Dharma tetap digolongkan ke dalam agama-agama tradisi besar. Ajaran Hindu Dharma telah menembus batas-batas kebudayaan bangsa dan diakui oleh dunia. Dengan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma, maka posisi umat Hindu Kaharingan relatif lebih aman terhadap tekanan-tekanan misionaris agama lain. Pembinaan keagamaan genenasi muda Dayak tetap dapat dilakukan dengan mengacu pada Kitab Suci Weda yang diakui secara universal oleh pemeluk Hindu di dunia. Sedangkan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan tetap dapat dilangsungkan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Dayak. Dalam hal ini, PHDI diharapkan dapat berbertah din agar dapat memberikan pembinaan yang sesuai dengan kondisi umat Hindu Hindu Dharrna di luar Suku Bali, terutama dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Dengan ikut melestarikan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Dayak, maka ciri khas agama Hindu Dharma yang ditandai dengan keanekaragaman pelaksanaan upacara-upacaranya pada tiap-tiap suku di Indonesia akan semakin terwujud. 
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan pembinaan umat Hindu Kaharingan yang ingin memisahkan diri dari agama Hindu Dharma yang pada saat ini sudah diakui secara resmi oleh pemerintah. Dengan pembinaan tersebut, mereka akan mempunyai pemahaman yang sejalan dengan sesama umat Hindu Kaharingan yang tetap menginginkan bergabung dengan agama Hindu Dharma. Di samping itu PHDI perlu berbenah diri agar tidak terjadi “pemaksaan budaya Bali” terhadap pelaksanaan upacara-upacara keagamaan umat Hindu Dharma dan suku-suku di luar Bali.
 
Pemerintah juga diharapkan dapat menangguhkan terlebih dahulu keinginan sebagian dari umat Hindu Kaharingan untuk memisahkan diri dari agama Hindu Dharma. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Apabila akan banyak hal-hal yang merugikan bagi umat Hindu Kaharingan itu sendiri bila telah berdiri sebagai agama tersendiri, maka permintaan sebagian umat Hindu Kaharingan tersebut terpaksa tidak dapat dipenuhi, yang mana berarti mereka tetap harus bergabung dengan agama Hindu Dharma.• WHD No. 510 Juni 2009.


Dapus:
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924&Itemid=121
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1361&Itemid=121
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1362&Itemid=121

No comments:

Post a Comment